Laman

September 17, 2011

Siswi Miskin Dijemur Sekolah Karena Tidak Pakai Seragam Baru

Sungguh memprihatinkan dan mengenaskan nasib kaum miskin di negeri ini untuk bisa mendapatkan pendidikan yang layak bagi mereka. Kisah ini nyata terjadi di negeri kita, tidak seperti yang digembar gemborkan pemerintah akan membantu warga miskin untuk bersekolah dan mendapatkan pendidikan layak tapi sebaliknya.

Fitri Ayu Prasetyo, siswa kelas II SMPN 37 Surabaya yang dihukum jemur oleh sekolah, Senin (12/9/2011) itu, pulang sambil menangis. Ia merasa sekolah tidak mau mengerti kondisi orangtuanya. “Saya kaget, Fitri menangis. Ia mengaku dihukum karena bet (badge) seragamnya tak baru. Saya tidak kuat membelinya,” kata ayah Fitri, Untung Budi Raharjo, Rabu (14/9/2011). Penarik becak ini mengaku, untuk datang ke sekolah dan menjelaskan kondisinya, ia tidak berani. Ia mengaku pening begitu tahu harga kelengkapan seragam anaknya.


Kelengkapan itu, antara lain, baju batik seharga Rp 55.000, seragam olahraga Rp 65.000, seragam laboratorium Rp 30.000, kaus kaki 16.000, logo sekolah dan badge Rp 16.000, dan paket seragam lain. Selain seragam, siswa juga harus membayar kartu identitas dan asuransi Rp 25.000, pas foto dan lembar jawaban komputer Rp 27.000. Daftar ‘belanja’ yang totalnya mencapai Rp 350.000.

Kepala SMPN 37, Shohibur Rachman, mengaku menghukum Fitri, namun dengan dalih menegakkan disiplin dan tidak hanya untuk Fitri seorang. “Tetapi khusus Fitri jadi catatan dan koreksi kami. Tak mungkin guru hapal kondisi setiap siswa,” kata Rachman. Kata Shohibur, sekolah sedang mendata siswa miskin yang berhak mendapat seragam baru gratis. “Ada dana khusus untuk itu siswa miskin dari kelas satu hingga kelas tiga. Tiap jenjang mendapat jatah Rp 15 juta yang diambilkan dari keuntungan koperasi,” katanya menjelaskan.


Soal perbedaan motif seragam batik memang tidak ada aturan yang jelas. “Itu hanya untuk membedakan kelas saja kok,” kata Shohibur.

Fitri Ayu Prasetyo adalah anak Untung Budi Raharjo, seorang penarik becak yang tinggal di sebuah rumah papan warisan keluarga di Jl Sidokapasan IV. Di dindingnya tertempel stiker tanda penghuninya keluarga miskin. Lantai semen juga sekaligus menjadi tempat tidur bagi keluarga itu. Keluarga Fitri tak sanggup membayar kontan tetapi bersedia mengangsur pembayaran seragam.

Sebelumnya, peristiwa memilukan terkait kemiskinan dalam dunia pendidikan juga terjadi di Gresik, Jawa
Timur. Andika Imam Taufiq (9) warga Barat Sungai, Kotakusuma Sangkapura terpaksa membawa kursi plastik setiap ke sekolah SDN Kotakusuma Kecamatan Sangkapura Pulau Bawean, Kabupaten Gresik. Ini karena dia tak sanggup membayar “biaya kursi” yang diwajibkan pihak sekolah.

Mana janji janji para pejabat, politikus (anggota dewan) untuk masa depan anak bangsa ini melalui pendidikan yang layak?

Tidak ada komentar: